Universitas Gunadarma

Senin, 19 Desember 2011

Ironi Ibu Kota

Sepertinya, bayangan untuk dapat menikmati kota nyaman dan indah akan semakin menjadi bayangan saja. Masih jauh dari kenyataan akan perwujudannya. Volume kendaraan makin hari semakin banyak saja. Terutama kendaraan roda 2. Bukan saja factor biaya yang menjanjikan untuk memanjakan penggunanya. Namun harus kita lihat mengapa mereka cenderung memilih salah satu alat transportasi ini.
Orang tidak akan mencari pilihan yang mereka anggap sulit. Dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya 1 ataupun 2 permasalahan yang mereka kejar untuk mereka selesaikan. Contohnya, rozi berangkat kerja di bilangan cawang. Rozi harus dihadapi pilihan untuk naik angkutan umum ( kereta atau angkutan perkotaan ) dan naik kendaraan pribadi. Dahulu, ia masih merasa agak nyaman naik kereta listrik, namun saat ini ia mengakui kalau pelayanan perkereta apian kian jauh dari harapan. Penumpang sekarang makin nekat dan makin tidak mengindahkan kepentingan orang lain, apalagi kepentingan keselamatannya sendiri. Kebijakan dengan mengadakan kereta ekonoi AC (commuterline) dirasa kurang tepat, “itu hanya naik harga doank, kadang-kadang AC nya mati Cuma kipas angin saja yang nyala” ujar Rozi. Pilihan untuk naik angkutan perkotaan juga dirasa tidak memungkinkan, disamping waktu tempuh lebih lama, resikonya juga lebih tinggi. Terutama kejahatan seperti pencopetan sampai penodongan. Hal ini pernah ia alami sendiri di angkutan umum, alhasil 1 unit handphone raib di copet. Belum lagi angkutannya terkadang tidak layak yang terkadang membuat penumpang sangat tidak nyaman.
Akhirnya rozi memilih kendaraan pribadi sepeda motor. “bisa selap selip, kalau bawa mobil bisa dua kali lipat waktu tempuhnya”.  Ternyata yang berfikiran seperti itu tidak hanya rozi, jutaan warga Jakarta dan sekitarnya memiliki fikiran yang sama dalam hal transportasi. Saat ini kendaraan roda dua pun ‘menyemut’ disetiap ruas jalan. Lalu lintas makin kacau disebaban banyaknya pengguna motor yang sangat tidak disiplin.
Mungkin pemerintah harus kompak dalam mengeluarkan kebijakan untuk menuntaskan permasalahan ini. Ya, walaupun tidak terlalu tuntas nantinya namun intinya harus ada jalan keluar bagi setiap permasalahan yang dihadapi. Seperti, pejabat KAI menerapkan system perjalanan yang lebih simple dan menambah armada gerbong kereta, meregenerasi kereta yang berusia lebih dari 15 tahun untuk meminimalisir resiko ‘mogok’ yang dapat mengganggu perjalanan kereta api lainnya.
Hal ini akan mendukung program pemangkasan subsidi pemerintah yang hulunya akan mengurangi beban APBN. Pemerintah kota bertugas untuk menyediakan layanan angkutan umum yang lebih layak dan memisahkan pengguna sepeda motor dengan mobil disetiap ruas jalan protocol atau jalan utama. Mungkin ini hanya sebuah konsep yang bersifat fiktif. Namun apabila fiktif di fikirkan matang-matang maka tidak mustahil dapat terwujud sebagai kenyataan.

Minggu, 27 November 2011

Sejarah DIY Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.Pemerintahan Daerah Istimewa Yogayakarta dapat kita telusur dari Tahun 1945, bahkan sebelum itu.


Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/ Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813.
Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
  1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
  2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah).
  3. Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.